Makalah “ Mengapa Perceraian Menjadi Fenomena yang Lumrah di Bangsa ini ? ”
Pelaksanaan UUD 1945 Tentang
Hak dan Kewajiban Warga Negara
“ Mengapa Perceraian Menjadi Fenomena yang Lumrah
di Bangsa ini ? ”
Program Studi : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Drs. Holimin, M.Si
Disusun Oleh
Yoga Dirgantara
NIM 153180063
Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
YOGYAKARTA
2019
A. Kata
Pengantar
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat secara
kodrati pada diri manusia dengan sifatnya yang universal dan abadi.
Oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi dan dirampas
oleh siapapun. Hak
warga negara merupakan suatu keistimewaan yang menghendaki agar warga negara diperlakukan sesuai keistimewaan tersebut. Setiap warga negara memiliki hak untuk hidup berkeluarga
dan melangsungkan kehidupannya dengan baik dan sah. Namun belakangan ini hal
tersebut menjadi suatu yang tidak sesuai dengan realita. Terbukti dengan adanya
perceraian dimana-mana dan dengan jumlah yang tidak sedikit, dapat kita temui
di berbagai kantor urusan agama (KUA) yang umumnya sering ramai oleh para
keluarga yang hendak memutus tali kekeluargaan dengan perceraian.
Pernikahan
merupakan ikatan yang sakral. Namun, badai acap kali tak terhindarkan
sehingga mahligai rumah tangga harus terhempas. Berdasarkan data yang
dikutip detik.com
dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sebanyak 419.268 pasangan
bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak
dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki
sebanyak 111.490 orang. (saputra, 2019)
Hal tersebut di dukung oleh fakta berikut "WSI memfokuskan
diri pada keluarga karena kita sadar betul tantangan tidak sederhana. Angka
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) terus meningkat, perceraian meningkat
desakralisasi dalam perkawinan. Sebagian anak-anak kita menganggap perceraian
semata mata ketidakcocokan. Tapi sudah direncanakan," ujar Lukman Hakim
Saifuddin di Milad 1 Abad WSI di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (7/12). (KumparanNEWS, 2018)
B. Permasalahan
Isi
George
Levinger (Widayanti, 2016) menyatakan pada umumnya perceraian terjadi karena
faktor tertentu yang mendorong suami istri bercerai. Faktor dimaksud antara
pasangan suami istri yang satu dengan yang lain saling berbeda. Berdasarkan
penelitian George tersebut, keluhan yang
menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian adalah a) Pasangannya sering
mengabaikan kewajibannya terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang
ke rumah, tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan; b) Masalah
keuangan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga; c) Adanya penyiksaan
fisik terhadap pasangan; d) Pasangan sering membentak dan mengeluarkan katakata
kasar dan menyakitkan; e) Tidak setia lagi, seperti mempunyai kekasih lain; f)
Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangannya, seperti
sering menolak dan tidak bisa memberikan kepuasan; g) Sering mabuk; h) Adanya
keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat
pasangannya; i) Seringnya muncul kecurigaan, kecemburuan serta
ketidak-percayaan dari pasangannya; j) Berkurangnya perasaan cinta sehingga
jarang berkomunikasi, kurang perhatian dan kebersamaan di antara pasangan; k)
Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering
menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu ”menguasai”.
Menurut Dariyo (Widayanti, 2016)
perceraian
merupakan titik puncak dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk
beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika
hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Faktor penyebab
perceraian adalah Pertama, ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup. Kedua,
tekanan kebutuhan ekonomi keluarga, ketiga, tidak mempunyai keturunan, keempat,
perbedaan prinsip hidup dan agama.
Selain
itu menurut Sulistyawati menjelaskan faktor yang mempengaruhi perceraian
adalah: (1) Kurangnya kesiapan mental; (2) Permasalahan ekonomi; (3) Kurangnya
komunikasi antar pasangan; (4) Campur tangan keluarga pasangan; dan (5)
Perselingkuhan (Widayanti, 2016). Berdasarkan penjelasan ketiga ahli diatas
maka dapat diambil kesimpulan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi seseorang
untuk mengajukan perceraian. Jika ditarik lebih jauh maka bisa diklasifikasikan
bahwa faktor penyebab perceraian dibagi menjadi faktor eksternal dan faktor
internal ataupun keterkaitan antara kedua faktor yang saling mempengaruhi. (Nasution, 2019)
Apakah anda menyadari
bahwa saat ini angka perceraian kian meningkat?
Menurut Ajeng
Raviando, M.Psi selaku psikolog keluarga memaparkan tren perceraian tahun
ini semakin meningkat; angkanya sekitar 15-20%. Ia pun menjelaskan apa saja
penyebab perceraian di Indonesia : Alasan
utama perceraian yakni ketidakharmonisan dalam hubungan rumah
tangga. Kedua adalah sosial media,
disusul karena alasan faktor ekonomi dan orang ke-3. Tak hanya itu saja,
menurut Ajeng, penyebab perceraian di Indonesia juga tidak
terlepas adanya pergeseran pola pikir ketika banyak pasangan yang menilai
bahwa pernikahan tak ubahnya pacaran. Jika merasa tidak cocok, bisa langsung
berpisah. Selain
itu, saat ini banyak pasangan millenial memiliki cara pandang bahwa yang paling
terpenting adalah bagaimana mereka bisa merasa bahagia. Saat pernikahan sudah
di rasa
tidak bahagia, dengan mudahnya dapat memutuskan untuk bercerai. Padahal
semestinya memang tidak seperti itu. “Kalau sudah nggak harmonis, nggak cocok,
sering bertengkar, ya sudah bercerai saja. jadi seperti pacaran. Padahal sebuah
pernikahan tidak seperti itu. Untuk mempertahankannya memang butuh kerja keras,
usaha dan kemauan kedua belah pihak untuk saling memperbaiki dan berubah.
Setelah bercerai apa menjamin bisa bahagia? Kan tidak” tuturnya. Lantas apa kaitannya
dengan masalah sosial media menyebabkan perceraian? Dalam hal ini Ajeng
menjelaskan mengapa sosial media bisa memengaruhi kualitaas hubungan suami
istri.
Sosial media menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia karena
mampu mengganggu quality time pasangan suami istri
Tidak bisa dipungkiri, saat
ini tantangan pasangan suami istri kian meningkat. Salah satunya terkait dengan
quality time. Sayangnya dengan berkurangnya waktu berkualitas, tidak
membuat pasangan suami istri menghabiskan waktu bersama-sama. Mereka justru
lebih asik dan sibuk bermain sosial media. Bahkan saat di area intim seperti
tempat tidur.
“Nah, bagaimana bisa punya
waktu berkualitas kalau di area imtim seperti tempat tidur masih asik
sendiri-sendiri. Biasanya dengan alasan masih ada kerjaan sehingga masih asik
dengan gadget-nya, kemudian keterusan sibuk main sosial media, bagaimana
pasangan suami istri ni punya waktu berkualitas bicara dari hati ke hati?” ungkap
Ajeng.
Sosial media dapat membuat mengubah ekspektasi pernikahan
“Wah… pasangan ini kok,
mesra sekali, ya…. sering kali liburan bersama keluarga. Suaminya juga sangat
perhatian dengan istrinya karena sering memberikan hadiah kejutan untuk
istrinya. Sementara kenapa hubungan pernikahan saya biasa-biasa saja dan terasa
begitu datar?”
Pernah tidak terbersit
pemikiran seperti ini saat melihat seorang teman mengunggah foto di sosial
media? Jika, ya, perasaan ini memang sangat wajar dan alamiah. Namun, perlu
diingat bahwa pada dasarnya rumput tetangga memang akan terasa lebih hijau.
Benar bukan?
Padahal kenyataannya tidak
selamanya seperti itu, kok. Terlebih lagi jika selama hanya melihat dari akun
sosial media di mana akun sosial media ini sebenarnya ibarat etalase toko.
Artinya, apa yang
ditampilkan memang yang paling indah dan dianggap terbaik. Tak mengherankan
jika pada akhirnya bisa memunculkan ekspektasi berlebihan.
“Sebelum melihat sosial
media, sebenarnya pernikahan terasa baik-baik saja. Tapi begitu dibandingkan
maka bisa memunculkan ekspektasi berlebih. Jika terus dibiarkan tentu saja akan
memengaruhi kualitas pernikahan Anda dan pasangan.”
C.
Pemecahan
Masalah
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah perceraian ?
Oleh karena itulah, agar
pasangan suami istri lebih banyak memiliki waktu untuk saling berbicara
khususnya bicara masalah soal rasa. Jangan sampai terjebak dengan rutinitas
sehari-hari saja. Selain itu, Ajeng pun mengingatkan agar pasangan suami istri
bisa belajar memahami bahasa cinta yang dibutuhkan oleh pasangannya.
Ada orang yang mementingkan
afirmasi atau perilaku positif, “Ada pasangan yang sudah senang sekali
kalau saat dia bercerita, pasangannya bisa mendengarkan dengan baik. Dengan
begitu ia merasa didengarkan dan diperhatikan. Tapi ada juga pasangan
yang mementingkan kebersamaan atau waktu berkualitas,” tukasnya.
Bahasa cinta lainnya bisa
diungkapkan dalam bentuk hadiah, “Hadiahnya ini nggak perlu yang besar dan
mewah, sekadar dibelikan makanan saat suami pulang kerja, atau dibelikan bunga
juga sudah senang.”
Namun ada juga yang lebih
senang bila pasangannya meladeni dan membantu, atau menyukai sentuhan dan
belaian. “Tiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda. Tugas kitalah untuk
mencari tahu, mana bahasa cinta pasangan. Maunya seperti apa. Setidaknya kita
juga perlu ingat kalau keharmonisan hubungan suami istri adalah tanggung jawab
kedua pihak.” (titania,
t.thn.)
Maka daripada itu penting sekali untuk menanggulangi fenomena perceraian
ini yang kian hari semakin membanjiri ranah keluarga di bangsa ini. Dengan hal
itu penting untuk menindaklanjuti problematika tersebut dengan meneliti secara
mendalam dan menyeluruh mengenai apa yang sebenarnya terjadi di kalangan
keluarga sehingga membuat pada suatu keputusan pemutusan hubungan kekeluargaan.
D.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan
pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut : Alasan-alasan perceraian di luar Undang-undang yang dijadikan sebagai
dasar untuk mengajukan gugatan atau permohonan di Pengadilan Agama antara
lain : a) Suami
sering keluar malam, b) Istri
atau suami tidak kerasan di rumah mertua,.c) Istri
atau suami selingkuh, d) isteri
tidak puas atas nafkah yang diberikan suami, e) Dan alasan-alasan lain yang tidak tercantum dalam undang-undang.
Kemudian yang Penulis bahas
adalah : Suami sering keluar malam-Istri atau suami selingkuh, isteri tidak puas atas nafkah yang diberikan
suami.
Hakim
Pengadilan Agama dalam memutus suatu perkara perceraian dengan Alasan-alasan
perceraian di luar undang-undang, selalu diarahkan ke ketentuan pokok mengenai
alasan-alasan perceraian
yaitu ketentuan yang ada dalam undang-undang (Pasal 39 UU No.1 tahun 1974 dan Pasal19 PP No.9 tahun 1975).
Alasan perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus tersebut diatasbukan merupakan sebab utama,
akan tetapi merupakan akibat dari sebab-sebab
lain yang
mendahuluinya yaitu perselisihan yang menyangkut hal-hal sehingga menimbulkan
retaknya rumah tangga.Untuk dapat dikabulkannya perkara perceraian harus dapat
dibuktikan bahwa peristiwa yang merupakan alasan perceraian itu telah
menyebabkan keretakan perkawinan yang tidak dapat dipulihkan kembali.
Pembuktian di persidangan
melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau
orang-orang yang terdekat dengan penggugat dan tergugat atau pun pemohon dan termohon.
Dari pemeriksaan
saksi-saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan terus menerusdalam
rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang selanjutnya akan dituangkandalam
pertimbangan keputusan.
Daftar Pustaka
handayani, r. (2019, 09 17). hak
dan kewajiban warga negara. Retrieved from Academia:
https://www.academia.edu/29028479/JURNAL_HAK_DAN_KEWAJIBAN_WARGA_NEGARA.docx
KumparanNEWS.
(2018, 12 7). Menteri Agama: Angka Perceraian di Indonesia Meningkat.
Retrieved from Kumparan:
https://kumparan.com/@kumparannews/menteri-agama-angka-perceraian-di-indonesia-meningkat-1544179658506355359
Mukharomah.
(2013). Bab V kesimpulan dan saran. Retrieved from
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiL9NeSl9jkAhXVh3AKHVgNCA0QFjAEegQIBhAC&url=http%3A%2F%2Frepo.iain-tulungagung.ac.id:
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/1686/5/BAB%20V.pdf
Nasution, R. D.
(2019, 04 29). Upaya Pemerintah Dalam Penanggulangan Perceraian Di
Kabupaten Ponorogo . Retrieved from
file:///C:/Users/HP/Downloads/1610-5777-1-PB.pdf
saputra, a.
(2019, 04 03). Hampir Setengah Juta Orang Bercerai di Indonesia Sepanjang
2018. Retrieved from detik.com:
https://news.detik.com/berita/d-4495627/hampir-setengah-juta-orang-bercerai-di-indonesia-sepanjang-2018
titania, a.
(n.d.). Hati-hati! Sosial media picu tingginya angka peceraian. Ini yang
perlu Parents perhatikan. Retrieved from theasiantparent.com:
https://id.theasianparent.com/penyebab-perceraian-di-indonesia
Comments
Post a Comment