MAKALAH WIDYA MWAT YASA
MAKALAH
Widya Mwat Yasa Nasionalisme dan Bela Negara dalam Perspektif Ketahanan Nasional dan Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh : Yoga Dirgantara
153180063
Ilmu Komunikasi
Dosen Pengampu : Dr.Ir.Sumarwoto Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta TA. 2018/2019
Dosen Pengampu : Dr.Ir.Sumarwoto Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta TA. 2018/2019
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai negara kepulauan terbesar
dunia, posisi geografis Indonesia membentang pada koordinat 6 LU – 11.08’ LS
dan 95 BT – 141.45’ BT dan terletak di antara dua benua, Asia di utara,
Australia di Selatan, dan dua samudera yaitu Hindia/Indonesia di barat dan
Pasifik di timur. Dalam perspektif geopolitik, bentangan posisi geografis ini
tentu saja menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki bargaining
power dan bargaining position strategis
dalam percaturan dan hubungan antar bangsa, baik dalam lingkup kawasan maupun
global. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa ruang merupakan inti dari
geopolitik karena di sana merupakan wadah dinamika politik dan militer.
Penguasaan ruang secara de facto dan de jure merupakan legitimasi dari kekuasaan politik.
Bertambahnya ruang negara atau berkurangnya ruang negara oleh berbagai jenis
sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara dan bangsa
(Sunardi, 2000, 33 – 35). Sementara itu, hubungan antar bangsa senantiasa
diwarnai oleh kompetisi dan kerjasama.
Dalam hubungan tersebut, setiap
bangsa berupaya untuk mencapai dan mengamankan kepentingan nasionalnya
menggunakan semua instrumen kekuatan nasional dimilikinya. Dalam kaitan
kepentingan nasional itulah, bangsa Indonesia tentu saja harus senantiasa
mengembangkan dan memiliki kesadaran ruang (space
consciousness) dan kesadaran geografis (geographical
awareness) sebagai Negara kepulauan. Hal ini logis dan sangat mendasar
mengingat, di satu sisi, posisi geografis yang strategis dan terbuka serta
mengandung keragaman potensi sumber kekayaan alam, tentu saja merupakan peluang
dan keuntungan bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan
nasionalnya. Namun di sisi lain, posisi geografis yang menjadi perlintasan dan
pertemuan kepentingan berbagai negara ini, mengandung pula kerawanan dan
kerentanan karena pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang dapat
berkembang menjadi ancaman bagi ketahanan bangsa dan pertahanan Negara.
Berbagai pengaruh dan dampak negatif
dari perkembangan lingkungan strategis yang disertai berubahnya persepsi dan
hakikat ancaman terhadap eksistensi maupun kedaulatan bangsa, tentu saja harus
dicermati dan disikapi oleh bangsa Indonesia secara sungguh–sungguh. Hal ini
penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, informasi dan komunikasi
(Information and Communication
Technologies – ICT) telah berimplikasi semakin berkembangnya peperangan
modern dalam bentuk Asymmetric Warfare dan Proxy War.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang harus menjadi fokus
perhatian segenap komponen bangsa adalah kemandirian dalam penguasaan,
pengembangan dan pemanfaatan teknologi di berbagai bidang. Dalam konteks
membangun ketahanan nasional aspek pertahanan keamanan, maka penguasaan,
pengembangan dan pemanfaatan teknologi merupakan cara cerdas untuk
mengantisipasi dan menghadapi ancaman militer maupun ancaman nir militer.
Terkait hal tersebut, keberadaan Resimen Mahasiswa ITB “Resimen Teknologi”, memiliki relevansi yang sangat strategis dalam
memperkuat sistem pertahanan negara di masa damai maupun di masa perang. Sesuai
dengan kapasitas, kapabilitas dan kompetensinya, peranserta dan partisipasi
aktif Menwa ITB “Resimen Teknologi”
semakin dibutuhkan untuk melipat gandakan kekuatan dan kemampuan pertahanan
negara dalam menghadapi potensi ancaman Asymmetric Warfare maupun Proxy War.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Bela Negara ?
2. Bagaimana cara untuk Bela Negara?
3. Siapa yang wajib untuk Bela Negara?
C.
Maksud dan Tujuan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Widya Mwat Yasa
2. Untuk menambah wawasan
3. Menambah pengetahuan tentang Bela
Negara
4. Mengetahui apa pengertian Bela
5. Mengetahui keterkaitan bela Negara
dengan ilmu-ilmu lain khususnya dalam perspektif ketahanan nasional dan ilmu
komunikasi.
Daftar
Isi
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah …………………………..…………………………..1
B.
Rumusan Masalah ………………………………….…………………………2
C.
Maksud dan Tujuan ………………………….………………………………..2
Daftar Isi ………………………………………………...……………………3
Pembahasan
A.
Geopolitik dan Geostrategi
Indonesia ………………………………………...4
B.
Ketahanan Nasional
…………………………………………………………..5
C.
Nasionalisme dan Wawasan
Kebangsaan Indonesia …………………………7
D.
Globalisasi dan Tantangannya
………………………………………………..9
E.
Pertahanan Negara dan Bela Negara
………………………………………...13
F.
Sistem Pertahanan Semesta
………………………………………………….13
G.
Intelektual Muda dan Peranannya
…………………………………………...16
Penutup
A.
Kesimpulan …………………………….……………………………………18
B.
Saran …………………………………..……………………………………..18
Daftar Pustaka ………………………….………………………………………………19
Pembahasan
A. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia
Keberlangsungan hidup dan eksistensi
suatu bangsa, sangat dipengaruhi oleh kemampuan bangsa tersebut dalam memahami
dan menguasai kondisi geografi serta lingkungan sekitarnya. Tumbuh kembangnya
atau berkurangnya ruang hidup bangsa, juga dipengaruhi oleh pandangan
geopolitik yang diyakini oleh entitas suatu bangsa. Menurut Sophie
Chautard dalam bukunya La Geopolitique, “Geopolitik bukan
ilmu pengetahuan murni, melainkan sebuah multidisiplin ilmu yang mempelajari
hubungan antar ruang dan politik, antara teritorial dan individu. Meletakkan
semua masalah pada aspek geografi yang memungkinkan kita menganalisa kondisi
saat ini, memahami hubungan satu kejadian dengan kejadian lainnya”.
Pandangan Gearoid Tuathail menyatakan bahwa, “Geopolitik
tidak memiliki makna atau identitas tunggal yang mencakup segala hal…..
Geopolitik merupakan suatu wacana, yaitu suatu cara penggambaran, perwakilan
dan penulisan tentang geografi dan politik internasional yang sangat beragam
secara kultural dan politik.” Dalam pidato peresmian Lemhannas RI tahun 1965,
Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, menegaskan bahwa pertahanan nasional hanya
dapat dilaksanakan secara sempurna, bila suatu bangsa mendasarkan pertahanan
nasional atas pengetahuan geopolitik. Wawasan Nusantara, Pengetahuan geopolitik yang dimaksud adalah
geopolitik Indonesia yang dikembangkan berdasarkan tiga faktor yang membentuk
karakter bangsa indonesia, yaitu sejarah lahirnya negara, bangsa
dan tanah air,serta cita – cita
dan ideologi bangsa. Berdasarkan ketiga hal tersebut, bangsa indonesia
telah mengembangkan pandangan geopolitik yang bersumber pada nilai-nilai
kesejarahan yang sudah dimulai sejak era prakolonialisme hingga era kemerdekaan
RI.
Pandangan yang bersumber pada
kesamaan pengalaman pahit sejarah, pada akhirnya menghasilkan konsepsi Wawasan
Nusantara sebagai pandangan geopolitik yang memandang wilayah nusantara sebagai
ruang hidup yang harus dipertahankan dan dikelola sebagai sumber kehidupan
bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Secara formal,
Wawasan Nusantara dipahami dan dimengerti sebagai cara pandang bangsa indonesia
tentang diri dan lingkungan keberadaanya dalam memanfaatkan kondisi dan
konstelasi geografi dengan menciptakan tanggungjawab dan motivasi atau dorongan
bagi seluruh bangsa indonesia untuk mencapai tujuan nasional. Sebagai wawasan
nasional, konsepsi Wawasan Nusantara menganut filosofi dasar geopolitik
Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai hasil
perenungan filsafat tentang diri dan lingkungannya, Wawasan Nusantara
mencerminkan pula dimensi pemikiran mendasar bangsa Indonesia yang mencakup
dimensi kewilayahan sebagai suatu realitas serta dimensi kehidupan,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai suatu fenomena hidup. Kedua
dimensi pemikiran tersebut merupakan keterpaduan pemikiran dalam dinamika
kehidupan pada seluruh aspek kehidupan nasional yang berlandaskan Pancasila.
Dengan prinsip inilah, seyogyanya setiap komponen dan anak bangsa harus mampu
memandang, menyikapi serta mengelola sifat dan karakter geografis lingkungannya
yang sarat dengan potensi dan risiko ancaman. Pola pikir, pola sikap dan pola
tindak bangsa Indonesia harus paham, akrab dan menyatu dengan perilaku
geografis kepulauan indonesia sebagai ruang, alat dan kondisi juang untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
B.
Ketahanan
Nasional
Pada hakikatnya Ketahanan Nasional merupakan
kondisi sekaligus konsepsi pembangunan nasional dalam pencapaian tujuan dan
cita – cita bangsa. Sebagai suatu kondisi, Ketahanan Nasional merupakan kondisi
dinamis bangsa yang berisi ketangguhan serta keuletan dan kemampuan bangsa
untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk
ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun
luar, yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan
hidup bangsa dan negara. Sebagai kondisi, Ketahanan Nasional merupakan kondisi
kehidupan nasional yang harus diwujudkan dan dibina secara dini, terus menerus,
terpadu dan sinergis.
Sebagai konsepsi, Ketahanan Nasional
merupakan landasan konsepsional strategis yang sekaligus merupakan pisau
analisis untuk memecahkan berbagai permasalahan strategis bangsa melalui
pendekatan 8 (delapan) aspek
kehidupan nasional (asta gatra) yang terdiri dari 3 (tiga) aspek alamiah (tri gatra) yang
bersifat statis dan 5 (lima) aspek
kehidupan (panca gatra) yang bersifat dinamis. Peran dan hubungan
diantara kedelapan gatra saling terkait dan saling tergantung secara utuh
menyeluruh membentuk tata laku masyarakat dalam kehidupan nasional. Dalam
implementasinya, ketahanan nasional diselenggarakan dengan mengutamakan
pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach) dan pendekatan keamanan (security
approach) yang serasi, selaras dan seimbang. Kesejahteraan dapat
digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan
nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besar kemakmuran yang adil dan merata,
rohaniah, dan jasmaniah. Sementara itu, keamanan harus dipahami sebagai
kemampuan bangsa dalam melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari
luar dan dari dalam, termasuk di dalamnya melindungi pancasila sebagai dasar
negara (philosophi gronslag).
Dalam perspektif Ketahanan Nasional,
pertahanan negara Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan dinamika kondisi
yang terkait dengan delapan aspek kehidupan nasional di atas. Konsep
keseimbangan dan saling keterkaitan antar satu gatra dengan gatra lainnya serta
sistem pertahanan negara yang bersifat kesemestaan, mencerminkan adanya
keterhubungan yang kuat antara kondisi Ketahanan Nasional dengan Pertahanan
Negara secara menyeluruh. Oleh karena itu, pembinaan dan pengkondisian
Ketahanan Nasional dalam berbagai aspeknya, akan menentukan kualitas Pertahanan
Negara, baik di masa damai maupun dalam masa perang. Kualitas Pertahanan Negara
akan berbanding lurus dengan kondisi Ketahanan Nasional yang dimiliki, artinya
setiap perubahan kondisi Ketahanan Nasional bangsa, dengan sendirinya akan
berpengaruh terhadap kualitas pertahanan negara dalam implementasinya.
C.
Nasionalisme
dan Wawasan Kebangsaan Indonesia
Sejarah mencatat bahwa setidaknya
ada empat hal yang dapat menjadi perekat bangsa, yaitu :
1.
Jaringan perdagangan di masa
lampau
2.
penggunaan bahasa yang sejak 1928 kita sebut
sebagai bahasa Indonesia
3. imperium
Hindia-Belanda sesudah paxneerlandica
4.
pengalaman bersama hidup sebagai
bangsa Indonesia sejak 1945.
Proses pembentukan bangsa Indonesia diawali
oleh keinginan untuk lepas dari penjajahan dan ingin memiliki kehidupan yang
lebih baik bebas dari penindasan dan bebas untuk melakukan apa yang diinginkan
sebagai sebuah bangsa yang dibalut dalam rasa Nasionalisme. kemudian Kerangka
cita-cita Nasional (bangsa) tersebut terangkum apik dalam pembukaan UUD 1945,
dengan Negara republik Indonesia sebagai pengemban amanah dari kedaulatan
rakyat Indonesia. Pertumbuhan wawasan kebangsaan Indonesia bersifat unik dan tidak
dapat disamakan dengan pertumbuhan nasionalisme bangsa lain. Walaupun rasa “persatuan” ke-Indonesia-an telah
bertunas lama dalam sejarah bangsa Indonesia, namun semangat kebangsaan atau
nasionalisme ke-Indonesia-an dalam arti yang sesungguhnya, secara formal baru
lahir pada permulaan abad ke-20. Semangat kebangsaan tersebut lahir sebagai reaksi
perlawanan terhadap kolonialisme yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Karena itu, nasionalisme Indonesia kontemporer terutama berakar pada keadaan
bangsa Indonesia pada abad keduapuluh, namun beberapa dari akar-akarnya berasal
dari lapisan sejarah yang jauh lebih tua (Kahin, 1970).
Kebangkitan dan lahirnya semangat
kebangsaan dan nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai oleh tiga
momentum sejarah yang saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan, yaitu
:
a) Kebangkitan
nasional tahun 1908
b) Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi
kemerdekaan RI tahun 1945
c) Ketiga momentum sejarah tersebut,
merupakan rangkaian proses terbentuknya nasionalisme Indonesia yang sarat
dengan nilai-nilai ke Indonesiaan.
Semangat kebangsaan dan nasionalisme Indonesia
berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal ini
tercermin dalam pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang
intinya ialah: Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit
(chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme,
internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk
menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga
mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang “bhinneka tunggal ika”.
Menurut Notonagoro, seorang ahli
filsafat dan hukum dari Universitas Gajah Mada, nasionalisme dalam konteks
Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhineka tunggal ika). Unsur-unsur
yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kesatuan Sejarah yaitu kesatuan yang dibentuk dalam
perjalanan sejarahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan
Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI
pada 17 Agustus 1945.
2. Kesatuan Nasib
Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan
selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan
bersama-sama.
3. Kesatuan Kebudayaan, Walaupun bangsa Indonesia memiliki
keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu
merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama
besar yang dianut bangsa Indonesia.
4. Kesatuan Wilayah, Bangsa ini hidup dan mencari
penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5. Kesatuan Asas Kerohanian Bangsa ini memiliki kesamaan
cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan
hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini. Bagi
bangsa Indonesia, mengutip sejarawan sosial Charles Tilly, Nasionalisme kita adalah
“state-led
nationalism”. Semacam nasionalisme yang dibangun dari atas, dan lalu
meluncur ke bawah. Artinya, negara harus membentuk watak dan karakter serta
memberi arah bagi anak bangsa. Negara harus melakukan konstruksi wawasan
kebangsaan sebagai “proyek bersama”
(common
project) bagi seluruh warganya. Namun demikian, apa yang diupayakan
negara tentu saja harus dipahami, dimengerti dan didukung oleh seluruh anak
bangsa tanpa terkecuali.
D. Globalisasi dan Tantangannya
Pada hakikatnya, globalisasi
merupakan proses hubungan antarbangsa yang sudah terjadi sejak berabad lalu.
Proses ini berkembang dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ideologi,
politik, ekonomi dan sosial budaya. Perkembangan serta kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi, telah mendorong hubungan sosial
dan saling ketergantungan antarbangsa, antarnegara dan antar manusia semakin
besar. Globalisasi yang didominasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi, telah merubah pola hubungan antar bangsa dalam berbagai aspek dan
menjadikan globalisasi sebagai fenomena yang bersifat multidimensi. Negara
seolah tanpa batas (borderless),
saling tergantung (interdependency)
dan saling terhubung (interconected)
antara satu negara dengan negara lainnya. Sementara itu, dominasi negara-negara
maju terhadap negara-negara berkembang semakin menguat melalui konsep pasar
bebas dalam lingkup global maupun regional. Di tengah kuatnya arus globalisasi
yang ditandai dengan persaingan global, saat ini tidak ada satupun negara di
dunia yang mampu berdiri sendiri. Saling ketergantungan dan saling
keterhubungan merupakan hal yang sulit untuk dihindari. Era reformasi yang
diawali krisis moneter tahun 1998, merupakan bukti kuatnya pengaruh globalisasi
terhadap dinamika kehidupan nasional. Sejak era reformasi digulirkan tahun
1998, dari perspektif kehidupan demokrasi, kehidupan politik nasional mengalami
kemajuan yang sangat signifikan. Kebebasan dan keterbukaan dalam menyampaikan
pendapat, menjadi ciri kehidupan masyarakat sehari–hari.
Di satu sisi, pencapaian ini tentu
saja merupakan kemajuan dan prestasi besar bangsa. Namun di sisi lain, tidak
dapat disangkal, bahwa keseharian kehidupan masyarakat telah diwarnai pola
pikir, pola sikap dan pola tindak individualistis dan kelompok. Masyarakat
luas, dalam berbagai tataran, telah mengadopsi nilai – nilai baru yang belum
sepenuhnya dipahami serta diyakini kebenaran dan kesesuaiannya dengan karakter
bangsa. Sementara, nilai – nilai luhur bangsa dianggap sebagai nilai lama yang
usang dan sudah tidak relevan dengan semangat reformasi yang sarat dengan
semangat perubahan. Semangat perubahan telah diartikan secara hitam putih dan
bahkan cenderung pragmatis tanpa memperhatikan dampak yang diakibatkannya.
Dinamika kehidupan nasional berjalan
sangat dinamis tapi kontra produktif bagi penguatan wawasan kebangsaan. Dampak
demokratisasi tidak didasari dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila telah
memunculkan sikap individualistis yang sangat jauh berbeda dengan nilai-nilai
Pancasila yang lebih mengutamakan semangat kegotongroyongan, keseimbangan,
kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan kesederajatan dalam hubungan
manusia dengan manusia. Perubahan tata nilai dan tata laku sebagian besar
komponen bangsa tercermin dari sikap pragmatisme dalam menyikapi dan
menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Hal ini juga dirasakan dan
diungkapkan oleh mantan Presiden BJ Habibie dan Ibu Megawati dalam sambutannya
di hadapan MPR RI pada tanggal 1 Juni 2011 dalam rangka memperingati Pidato
Bung Karno 1 Juni 1945.
Dalam sambutannya Bapak BJ Habibie
menyampaikan:“……sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam
pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam
dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa.
Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks
kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti
tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa
Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”
Ibu Megawati juga menyampaikan bahwa“……dalam kurun 13 tahun reformasi,
menunjukkan kealpaan kita semua terhadap dokumen penting sebagai rujukan
Pancasila dalam proses ketatanegaraan kita”. Ekspresi dan kegundahan kedua
tokoh nasional tersebut, tentu merupakan bentuk kegelisahan yang harus
dijadikan tolok ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap wawasan
kebangsaan yang dijiwai oleh nilai – nilai luhur Pancasila. Hingga saat ini,
Pancasila masih tampak kokoh berdiri mempersatukan berbagai komponen bangsa,
suku bangsa, golongan dan etnik di bawah NKRI.
Namun, bangsa ini harus berani jujur
untuk mengakui bahwa Pancasila sebagai dasar negara cenderung dipandang hanya
sebatas simbol yang mulai kehilangan roh dan makna filosofinya. Tidak
mengherankan, apabila saat ini Nasionalisme ataupun Wawasan kebangsaan
keIndonesia-an, menjadi barang mewah yang sangat sulit ditemukan di kalangan
generasi muda. Wawasan kebangsaan bukan merupakan sesuatu yang menarik untuk
dibahas atau bahkan menjadi trendsetter dalam kehidupan kalangan muda. Mungkin
ada benarnya bila banyak orang menyimpulkan bahwa generasi muda Indonesia
sedang mengalami krisis wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan, kini terasa
menjadi sesuatu yang bersifat abstrak tak tersentuh dan mengalami sebuah
pendangkalan makna secara mendasar. Globalisasi yang menembus batasbatas negara
telah mengaburkan persepsi dan wawasan kebangsaan, sesuatu yang justru
merupakan hal yang sangat esensial dalam mempertahankan eskistensi dan kedaulatan
negara.
Oleh karena itu, berbicara soal wawasan
kebangsaan akan terdengar asing, dan bagi mereka yang berapi-api membelanya
akan dianggap sebagai anomali ditengah kehidupan modern. Salah satu tantangan
dalam pergeseran seisme global era baru, yakni meningkatnya kompetisi secara
eksponensial, dimana teknologi telah membuat satu negara dapat bersaing dengan
negara lain, untuk itu secara terus-menerus diperlukan pengembangan cara baru
untuk berkompetisi dengan negara lain, melalui inovasi dan efisiensi, namun
tetap mengedepankan kualitas. Tak satu negara pun bisa bertahan hanya dengan
sekadar menyejajarkan diri dengan pesaing atau bahkan dengan mereka yang
dianggap unggul, melainkan bangsa ini harus menyejajarkan diri dengan mereka
yang masuk “kelas dunia”. Di tengah semakin kaburnya wujud dan bentuk ancaman
yang berkembang dewasa ini, potensi ancaman tidak lagi dalam bentuk ancaman
yang bersifat fisik. Invasi dalam bentuk pengerahan kekuatan militer tidak lagi
menjadi pilihan bagi negara – negara memiliki kepentingan atas negara lain.
Ideologi, politik, ekonomi dan budaya kini merupakan pilihan negara – negara
lain untuk memaksakan kepentingannya dan “menaklukan” negara lainnya. Namun
demikian, dampak yang ditimbulkan menyentuh hampir seluruh sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di perkotaan maupun hingga
pelosok desa.
Dunia kini juga dihadapkan dengan
perang yang dilakukan oleh pihak ketiga tanpa keterlibatan langsung pihak yang
berkepentingan atau disebut Proxy War.
Hal tersebut dilakukan oleh pihak
berkekuatan besar untuk menghindari konfrontasi secara langsung dan
menghindarkan terjadinya perang terbuka yang akan meninggalkan tanggung jawab
besar.
Andrew Mumford dalam bukunya Proxy
Warfare, menyebutkan bahwa ancaman perang cyber (cyber
warfare) kian membesar di masa depan seiring dengan intensnya
penggunaan teknologi cyber dalam penggunaan sehari-hari. Dunia maya (cyber) kini menjadi sarana dan arena
berperang yang melibatkan banyak pihak tanpa dibatasi oleh batas – batas
negara. Transformasi bentuk ancaman ini, tentu harus disadari sepenuhnya oleh
bangsa Indonesia, mengingat tantangan dan potensi ancaman yang semakin berat
dan kompleks. Disamping tantangan dalam aspek teknologi, kini bangsa–bangsa di
dunia, tengah dihadapkan pada berbagai tantangan dan isu global seperti
perubahan iklim (global climate change),
food security, energy security, terorisme, human security, kejahatan lintas
negara (trans national crime), drug trafficking, maritime security, cyber
crime, konflik di kawasan, dll. Melihat sifat dan kompleksitas dampak yang
ditimbulkannya, negara tidak lagi menjadi satu – satunya elemen yang
bertanggung jawab untuk menghadapinya.
Partisipasi dan peran aktif setiap
individu warga negara akan menentukan keberhasilan suatu bangsa dalam
mengantisipasi dampak negatif yang mengancam eksistensi bangsa dan negara.
Untuk itulah, kalangan muda harus menyadari bahwa sebagai salah satu komponen
kekuatan nir militer, kalangan intelektual muda memiliki peran penting dalam
mengantisipasi ancaman nir militer sesuai dengan keahlian dan kompetensi yang
dimiliki. Dinamika kehidupan nasional yang dihadapkan pada berbagai bentuk
ancaman maupun persaingan global, membutuhkan hadirnya sosok intelektual muda
yang berkarakter dan memiliki nasionalisme kebangsaan yang kuat.
E. Pertahanan Negara dan Bela Negara
Bagi bangsa Indonesia, perang
merupakan jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh untuk mempertahankan
ideologi negara, kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Doktrin dan Sistem Pertahanan
Negara Indonesia tersebut secara tersirat mencerminkan pandangan bangsa
Indonesia tentang konsep perang dan damai, yakni “Bangsa Indonesia cinta damai,
akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Oleh karenanya, bangsa Indonesia tidak
mengembangkan ajaran tentang kekuasaan dan adu kekuatan, karena hal tersebut
mengandung benih-benih persengketaan, permusuhan dan ekspansionisme. Indonesia
mengembangkan dan menyelenggarakan sistem pertahanan negaranya dalam nuansa
keterbukaan, yang merupakan perwujudan prinsip cinta damai dan ingin hidup
berdampingan secara harmonis dengan negara negara lain. Sikap dan cara pandang
bangsa Indonesia tersebut merefleksikan pandangan Geopolitik dan Geostrategi
bangsa Indonesia yang secara jelas dituangkan dalam Buku Putih Pertahanan
Indonesia tahun 2008.
F.
Sistem
Pertahanan Semesta
Sebagai penjabaran konstitusi pada
aspek pertahanan, bangsa Indonesia telah menyusun Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara yang menetapkan bahwa Sistem Pertahanan Negara
Indonesia adalah sistem pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh
warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya. Hal ini merupakan
upaya untuk menyinergikan kinerja komponen Militer dan Nir Militer dalam rangka
menjaga, melindungi dan memelihara kepentingan nasional Indonesia. Sistem
Pertahanan Semesta memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter yang
saling menyokong dalam menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Dalam UU RI Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara ditegaskan bahwa sebagai wujud dari kesemestaan,
pelibatan seluruh warga negara dalam upaya bela negara merupakan kewajiban
sekaligus haknya. UU Pertahanan Negara juga mengklasifikasikan bahwa bala pertahanan
negara yang digolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI),
Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung. UU RI Nomor 3 Tahun 2002 pasal 9 ayat
(2) juga menjabarkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara,
diselenggarakan melalui: pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar
kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit TNI dan pengabdian sesuai
dengan profesi. Dengan demikian, Sistem Pertahanan Semesta dilaksanakan dengan
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, serta segenap sumber daya nasional
yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total,
terpadu, terarah dan berlanjut.
Pada masa damai, sistem pertahanan
semesta dibangun untuk menghasilkan daya tangkal yang tangguh dengan menutup
setiap ruang yang dapat menjadi titik lemah. Pembangunan Sistem Pertahanan
Semesta pada masa damai dilaksanakan dalam kerangka pembangunan nasional yang
tertuang dalam program pemerintah yang berlaku secara nasional. Tentara
Nasional Indonesia (TNI) di masa damai melaksanakan fungsi Operasi Militer
Selain Perang (OMSP), membantu lembaga pemerintah di luar Kementerian
Pertahanan dan masyarakat untuk melaksanakan fungsi Pertahanan Sipil sesuai
profesinya menghadapi ancaman non-militer. Disamping itu, TNI juga membantu
pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertahanan) dalam rangka melatih dan
membentuk sumber daya manusia non-TNI, potensi sumber daya alam dan buatan,
serta sarana prasarana nasional untuk ditransformasikan menjadi potensi
pertahanan negara pada saat dibutuhkan.
Pada masa perang atau pada kondisi
negara menghadapi ancaman nyata, pemerintah mendayagunakan Sistem Pertahanan
Negara sesuai dengan hakikat ancaman atau tantangan yang dihadapi. Sistem
Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman militer memadukan pertahanan militer
dan pertahanan nirmiliter dalam susunan Komponen Utama Pertahanan, yaitu TNI,
serta Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang terdiri atas warga negara,
sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional.
Komponen Cadangan dibentuk dari sumber daya nasional yang dipersiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan
kemampuan TNI.
Spektrum Bela Negara dalam perspektif hidup bernegara,
konsep pertahanan negara dalam masa damai maupun masa perang tersebut pada
dasarnya merefleksikan spektrum bela negara yang harus dipahami oleh setiap
warganegara. Hal ini mengingat bahwa setiap bangsa akan senantiasa dihadapkan
pada perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup dan kepentingan nasionalnya.
Oleh karena itu, spektrum bela negara tidak terbatas pada pemahaman bela negara
secara fisik pada masa perang saja, melainkan juga mencakup pada aspek yang
lebih luas mulai dari bentuk yang paling halus (soft) hingga aspek yang paling keras (hard).
Bela negara dalam spektrum yang
halus atau lunak (soft) mencakup
aspek psikologis (psychological) dan
aspek fisik (physical). Aspek
psikologis mencerminkan kondisi jiwa, karakter dan jati diri setiap warganegara
yang dilandasi oleh pemahaman nilai – nilai luhur bangsa, Ideologi Pancasila
dan UUD NRI tahun 1945. Muara kondisi psikologis ini akan direpresentasikan
oleh pola pikir dan pola sikap yang mencerminkan soliditas wawasan kebangsaan,
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesadaran bela negara. Aspek fisik pada
dasarnya merupakan implementasi dan perwujudan bela negara aspek psikologis
yang tercermin dari pola tindak secara nyata dalam perjuangan mengisi
kemerdekaan melalui berbagai aktitivitas, mulai dari pengabdian sesuai profesi,
menjunjung tinggi nama bangsa dan negara dalam berbagai kegiatan nasional
maupun internasional, partisipasi aktif dalam penanganan permasalahan sosial
maupun bencana hingga kewaspadaan individual dalam menghadapi ancaman non fisik
dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Bela negara dalam spektrum yang keras (hard) merupakan bentuk hak dan kewajiban
perwujudan bela negara secara fisik dalam menghadapi ancaman yang didominasi
oleh ancaman militer negara lain. Disadari bahwa saat ini, perang yang
melibatkan kekuatan militer secara langsung sudah tidak menjadi model
penyelesaian konflik antar dua negara. Namun demikian, sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus tetap memiliki kesadaran bahwa
probabilitas terjadinya perang masih sangat terbuka. Perang terbatas yang
terjadi di berbagai kawasan di Afrika, Afganistan dan Irak merupakan gambaran
bahwa probabilitas perang masih menjadi pilihan dalam mempertahankan
kepentingan nasional suatu bangsa. Dengan berbagai permasalahan perbatasan dengan
negara tetangga yang belum terselesaikan, maka spektrum bela negara secara
fisik tetap harus dipahami, dijaga dan dikembangkan secara proporsional dan
profesional. Untuk itu, negara telah menyusun doktrin dan sistem pertahanan
semesta yang mengakomodosi hak maupun kewajiban bela negara warganegaranya
secara terencana, terukur, terorganisir dan sistematis. Mekanisme pelaksanaan
yang ditetapkan oleh peraturan perundangan terkait peran, tugas dan tanggung
jawab Komponen Utama, Komponen Cadangan (Kombatan) dan Komponen Pendukung (Non
Kombatan) harus dipahami secara utuh tanpa disertai pretensi negatif yang
melahirkan sikap resistensi.
Keberadaan Komponen Cadangan maupun
Komponen Pendukung harus dipandang sebagai wadah dan sarana menyalurkan energi kolektif
bangsa agar sikap militansi dalam bela negara tidak berkembang menjadi sikap
anarkis yang merusak langkah – langkah diplomasi bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Melalui pemahaman komprehensif inilah, bela negara dalam spektrum
yang keras dapat terselenggara dengan proporsional sehingga mampu memperbesar
dan memperkuat Komponen Utama. Yang perlu dipahami, spektrum bela negara mulai
dari spektrum lunak hingga spektrum keras merupakan spektrum bela negara yang
tidak terputus dan berkelanjutan. Bela negara spektrum lunak merupakan pondasi
dasar terbentuknya kualitas bela negara spektrum keras. Artinya, kualitas bela
negara spektrum lunak akan berbanding lurus dengan kualitas bela negara
spektrum keras. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa membangun
pemahaman bela negara yang komprehensif di masa damai merupakan faktor kunci
keberhasilan terselenggaranya implementasi konsep bela negara dalam sistem
pertahanan semesta.
G.
Intelektual
Muda dan Peranannya
Komponen Pendukung dikelompokkan dalam lima
suku komponen pendukung, yakni Garda Bangsa, tenaga ahli sesuai dengan profesi
dan bidang keahliannya, warga negara lainnya, industri nasional, sarana dan
prasarana, serta sumber daya buatan dan sumber daya alam yang dapat digunakan
untuk kepentingan pertahanan. Intelektual muda menempati posisi sebagai
komponen pendukung yang sangat potensial dalam mengembangkan potensi pertahanan
nirmiliter dimana pertahanan dilakukan melalui usaha tanpa menggunakan kekuatan
senjata, melainkan dengan pemberdayaan faktor-faktor ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Dalam masa damai maupun masa perang,
sesungguhnya kalangan intelektual muda sebagai garda bangsa dalam pertahanan
nirmiliter, memiliki peran yang vital dan krusial sebagai kekuatan potensial
agen perubahan dalam pembentukan watak dan karakter bangsa. Di tengah tantangan
perubahan yang membawa tata laku dan tata nilai baru, kalangan muda terpelajar
harus mampu membekali dan membentengi diri dengan wawasan kebangsaan yang kuat.
Generasi muda, utamanya para intelektual muda harus mampu memilih dan memilah
tata nilai baru yang tidak sesuai dengan identitas dan jati diri bangsa yang
bercirikan semangat gotong royong.
Beratnya tantangan yang dihadapi
generasi muda, harus pula disikapi dengan menjaga keseimbangan antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional
maupun kecerdasan spiritual. Keseimbangan ketiga faktor tersebut,
diharapkan akan mewujudkan perilaku kalangan muda yang senantiasa menjunjung
tinggi Moral dan Etika, Kejujuran dan Kebangsaan. Tanpa keseimbangan ketiga
faktor tersebut, kecerdasan yang dimiliki generasi muda justru akan
menggerogoti sendi sendi kehidupan bangsa. Kemampuan inilah yang sesungguhnya
merupakan wujud bela negara dalam spektrum yang halus yang perlu dilakukan oleh
kalangan muda di masa damai. Dengan disertai karakter kebangsaan yang kuat,
ilmu pengetahuan, kecerdasan dan kompetensi yang dimiliki, merupakan modal
utama kalangan intelektual muda untuk menjalankan kewajiban bela negaranya
dalam memperkuat pertahanan negara di berbagai bidang kehidupan nasional.
Dalam perspektif Ketahanan Nasional,
justru peran bela negara dalam spektrum lunak inilah yang akan menentukan
kualitas pertahanan dan ketahanan bangsa kedepan. Oleh karena itu, kalangan
muda harus menempatkan diri secara cerdas dan mengambil peran aktifnya dalam
berbagai proses pembangunan nasional, utamanya dalam pembangunan watak dan
karakter bangsa. Hal ini perlu dilakukan mengingat profesi, pengetahuan dan keahlian,
serta kecerdasan yang dijiwai oleh semangat kebangsaan merupakan potensi yang
dapat dimanfaatkan untuk mengelola berbagai potensi sumber daya alam secara
efektif dalam membangun perekonomian nasional. Berbekal dengan potensi yang
sama, kalangan muda dalam peran bela negaranya sebagai salah satu kekuatan
Komponen Pendukung, dapat berpartisipasi dalam membangun kemampuan dan
kemandirian industri strategis yang dibutuhkan dalam pertahanan Negara.
Penutup
A. kesimpulan
Ketangguhan serta keuletan dan
kemampuan bangsa untuk mengembangkan potensi kekuatan nasional menjadi kekuatan
pertahanan negara yang solid, perlu dibangun diatas nilai – nilai kebangsaan,
nasionalisme dan bela negara. Dalam perspektif Ketahanan Nasional, ketiga
elemen dasar tersebut merupakan prasyarat yang harus dibina secara dini, terus
menerus, terpadu dan berkelanjutan. Terkait hal inilah, nasionalisme dan bela
negara bukan merupakan retorika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun
harus mampu diwujudkan dan diimplementasikan secara nyata oleh seluruh komponen
bangsa, utamanya kalangan intelektual muda.
Kecerdasan intelektual yang
merupakan potensi besar yang dimiliki kalangan muda harus mampu dikembangkan
secara seimbang dengan kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kecerdasan
spiritual. Keseimbangan tersebut dibutuhkan sebagai rangkaian proses membangun
kesadaran individual terkait bela negara. Itulah yang sesungguhnya harus
disadari oleh kalangan intelektual muda untuk dipahami dan dikerjakan dalam
memenuhi hak dan kewajiban bela negara dalam perspektif Ketahanan Nasional dan
Teknologi Informasi Komunikasi.
B.
Saran
Demikian yang dapat saya paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekuragan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca
yang budiman untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis
demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan berikutnya. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis khususnya juga para pembaca yang budiman
umumnya, terimakasih.
Daftar
Pustaka :
https://www.kemhan.go.id/belanegara/opini/asd/
http://www.academia.edu/8744160/Makalah_Bela_Negara
https://www.kumpulanteks.com/3
Comments
Post a Comment